Saat itu aku Ronny masih kuliah dan saya mempunyai teman karib namanya
Mona, dari Sumatera, dia menumpang di rumah tantenya. Kebetulan antara
saya dan Mona mempunyai hoby yang sama, naik gunung, lintas alam,
atletik, lempar lembing. Saya sering bertandang ke rumahnya, makin lama
makin sering. Karena saya juga naksir sama Rita, adik sepupu Mona atau
anak tantenya. Walau saya sudah menjadi akrab dengan keluarganya, tapi
Rita tak kunjung kupacari.
Setelah selesai SMA Mona melanjutkan studi di Kota lain, tapi aku mencoba untuk bertandang ke rumah Rita, tapi jarang ketemu.
Namun
perjalanan waktu menentukan lain bagi Rita, ayahnya yang wakil rakyat
itu meninggal. Sekarang ini ibunya mencari nafkah sendiri dengan
memegang beberapa perusahaannya yang memang sudah dirintis cukup lama,
sebelum terpilih menjadi wakil rakyat. Harapanku memacari Rita tetap ada
di dada, walaupun saat aku berkunjung, justru bu Ita (ibunya
Rita/tantenya Mona) yang sering menemuiku. karena Rita ada kesibukan di
Jakarta, sehubungan dengan keikutsertaannya dalam sekolah presenter di
sebuah stasion teve swasta di sana. Tapi sebenarnya kalau mau jujur Rita
masih kalah dengan ibunya. Bu Ita lebih cantik.,kulitnya lebih putih
bersih, dewasa dan tenang pembawaannya. Sementara Rita agak sawo matang,
nurun ayahnya kali? Seandainya Rita seperti ibunya: tenang
pembawaannya, keibuan dan penuh perhatian, baik juga.
Sekarang,
di rumah yang cukup mewah itu hanya ada bu Ita dan seorang pembantu.
Mona sudah tidak di situ, sementara Rita sekolah di ibukota,
paling-paling seminggu pulang. Akhirnya saya di suruh bu Ita untuk
membantu sebagai karyawan tidak tetap mengelola perusahaannya. Untungnya
saya memiliki kemampuan di bidang komputer dan manajemennya, yang saya
tekuni sejak SMA. Setelah mengetahui manajemen perusahaan bu Ita lalu
saya menawari program akuntansi dan keuangan dengan komputer, dan bu Ita
setuju bahkan senang. Merencanakan kalkulasi biaya proyek yang
ditangani perusahaannya, dsb. Saya menyukai pekerjaan ini. Yang jelas
bisa menambah uang saku saya, bisa untuk membantu kuliah, yang saat itu
baru semester dua. Bu Ita memberi honor lebih dari cukup menurut ukuran
saya. Pegawai bu Ita ada tiga cewek di kantor, tambah saya, belum
termasuk di lapangan. Saya sering bekerja setelah kuliah, sore hingga
malam hari, datang menjelang pegawai yang lain pulang. Itupun kalau ada
proyek yang harus dikerjakan. Part time begitu. Bagi saya ini hanya
kerja sambilan tapi bisa menambah pengalaman.
Karena hubungan
kerja antara majikan dan pegawai, hubungan saya dengan bu Ita semakin
akrab. Semula sih biasa saja, lambat-laun seperti sahabat, curhat, dan
sebagainya. Aku sering dinasehati, bahkan saking akrabnya, bercanda,
saya sering pegang tangannya, mencium tangan, tentu saja tanpa diketahui
rekan kerja yang lain. Dan rupanya dia senang. Tapi aku tetap menjaga
kesopanan. Pengalaman ini yang mendebarkan jantungku, betapapun dan
siapapun bu Ita, dia mampu menggetarkan dadaku. Walaupun sudah cukup
umur wanita ini tetap jelita. Saya kira siapapun orangnya pasti
mengatakan orang ini cantik bahkan cantik sekali. Dasar pandai merawat
tubuh, karena ada dana untuk itu, rajin fitnees, di rumah disediakan
peralatannya. Kalau sedang fitnees memakai pakaian fitnees ketat sangat
sedap dipandang. Ini sudah saya ketahui sejak saya SMA dulu, tapi karena
saya kepingin mendekati Rita, hal itu saya kesampingkan. Data-data
pribadi bu Ita saya tahu betul karena sering mengerjakan biodata
berkaitan dengan proyek-proyeknya. Tingginya 161 cm, usianya saat kisah
ini terjadi 37 tahun, lima bulan dan berat badannya 52 kg. Cukup ideal.
Pada
suatu hari saya lembur, karena ada pekerjaan proyek dan paginya harus
didaftarkan untuk diikutkan tender. Pukul 22.00 pekerjaan belum selesai,
tapi aku agak terhibur bu Ita mau menemaniku, sambil mengecek
pekerjaanku. Dia cukup teliti. Kalau kerja lembur begini ia malah sering
bercanda. Bahkan kalau minumanku habis dia tidak segan-segan yang
menuang kembali, aku malah menjadi kikuk. Dia tak enggan pegang
tanganku, mencubit, namun aku tak berani membalas. Apalagi bila sedang
mencubit dadaku aku sama sekali tidak akan membalas. Dan yang cukup
surprise tanpa ragu memijit-pijit bahuku dari belakang.
“Capek ya..? Saya pijit, nih”, katanya.
Aku
hanya tersenyum, dalam hati senang juga, dipijit janda cantik. Apalagi
yang kurasakan dadanya, pasti teteknya menyenggol kepalaku bagian
belakang, saya rasakan nyaman juga. Lama-lama pipiku sengaja saya
pepetkan dengan tangannya yang mulus, dia diam saja. Dia membalas
membelai-belai daguku, yang tanpa rambut itu. Aku menjadi cukup senang.
Hampir pukul 23.00 baru selesai semua pekerjaan, saya membersihkan
kantor dan masih dibantu bu Ita. Wah wanita ini betul-betul seorang
pekerja keras, gumanku dalam hati.
Saya bersiap-siap untuk pulang, tapi dibuatkan kopi, jadi kembali minum.
“Kamu sudah punya pacar Ron?”
“Belum Bu”, jawabku
“Masa.., pasti kamu sudah punya. Cewek mana yang tak mau dengan cowok ganteng”, katanya
“Belum
Bu, sungguh kok”, kataku lagi. Kami duduk bersebelahan di sofa ruang
tengah, dengan penerangan yang agak redup. Entah siapa yang mendahului,
kami berdua saling berpegangan tangan saling meremas lembut. Yang jelas
semula saya sengaja menyenggol tangannya…
Mungkin karena terbawa
suasana malam yang dingin dan suasana ruangan yang syahdu, dan terdengar
suara mobil melintas di jalan raya serta sayup-sayup suara binatang
malam, saya dan bu Ita hanyut terbawa oleh suasana romantis. Bu Ita yang
malam itu memakai gaun warna hitam dan sedikit motif bunga ungu. Sangat
kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih. Wanita pengusaha ini
makin mendekatkan tubuhnya ke arahku. Dalam kondisi yang baru aku alami
ini aku menjadi sangat kikuk dan canggung, tapi anehnya nafasku makin
memburu, kejar-kejaran dan bergelora seperti gemuruh ombak di Pelabuhan
Ratu. Saya menjadi bergemetaran, dan tak mampu berbuat banyak, walau
tanganku tetap memegang tangannya.
“Dingin ya Ron..?!”, katanya sendu.
Sementara tangan kiriku ditarik dan mendekap lengan kirinya yang memang tanpa lengan baju itu.
“Ya, Bu dingin sekali”, jawabku.
Terasa
dingin, sementara tangannya juga merangkul pinggangku. Bau wewanginan
semerbak di sekitar, aku duduk, menambah suasana romantis
“Kalau ketahuan Darti (pembantunya), gimana Bu?”, kataku gemetar.
“Darti tidak akan masuk ke sini, pintunya terkunci”, katanya.
Saya
menjadi aman. Lalu aku mencoba mengecup kening wanita lincah ini, dia
tersenyum lalu dia menengadahkan wajahnya. Tanpa diajari atau diperintah
oleh siapapun, kukecup bibir indahnya. Dia menyambut dengan senyuman,
kami saling berciuman bibir saling melumat bibir, lidah kami bertemu
berburu mencari kenikmatan di setiap sudut-sudut bibir dan rongga mulut
masing-masing. Tangankupun mulai meraba-raba tubuh sintal bu Ita, diapun
tidak kalah meraba-raba punggungku dan bahkan menyusup dibalik kaosku.
Aku menjadi semakin terangsang dalam permainan yang indah ini.
Sejenak
jeda, kami saling berpandangan dia tersenyum manis bahkan amat manis,
dibanding waktu-waktu sebelumnya. Kami berangkulan kembali, seolah-olah
dua sejoli yang sedang mabuk asmara sedang bermesraan, padahal antara
majikan dan pegawainya. Dia mulai mencumi leherku dan menggigit lembut
semantara tanganku mulai meraba-raba tubuhnya, pertama pantatnya,
kemudian menjalar ke pinggulnya.
“Sejak kamu kesini dengan Mona dulu, saya sudah berpikir: “Ganteng banget ini anak!”", katanya setengah berbisik.
“Ah ibu ada-ada saja”, kataku mengelak walaupun saya senang mendapat sanjungan.
“Saya tidak merayu, sungguh”, katanya lagi.
Kami
makin merangsek bercumbu, birahiku makin menanjak naik, dadaku semakin
bergetar, demikian juga dada bu Ita. Diapun nampak bergetaran dan
suaranya agak parau.
Kemudian saya beranjak, berdiri dan menarik
tangan bu Ita yang supaya ikut berdiri. Dalam posisi ini dia saya dekap
dengan hangatnya. Hasrat kelakianku menjadi bertambah bangkit dan terasa
seakan membelah celana yang saya pakai. Lalu saya bimbing dia ke
kamarnya, bagai kerbau dicocok hidungnya bu Ita menurut saja. Kami
berbaring bersama di spring bed, kembali kami bergumul saling berciuman
dan becumbu.
“Gimana kalau saya tidur di sini saja, Bu”, pintaku lirih.
Ia
berpikir sejenak lalu mengangguk sambil tersenyum. Kemudian dia
beranjak menuju lemari dan mengambil pakaian sambil menyodorkan kepada
saya.
“Ini pakai punyaku”, dia menyodorkan pakaian tidur.
Lalu aku melorot celana panjangku dan kaos kemudian memakai kimononya.
Aku
menjadi terlena. Dalam dekapannya aku tertidur. Baru sekitar setengah
jam saya terbangun lagi. Dalam kondisi begini, jelas aku susah tidur.
Udara terasa dingin, saya mendekapnya makin kencang. Dia menyusupkan
kaki kanannya di selakangan saya. Penisku makin bergerak-gerak,
sementara cumbuan berlangsung, penisku semakin menjadi-jadi kencangnya,
yang sesungguhnya sejak tadi di sofa.
Aku berpikir kalau sudah
begini bagaimana? Apakah saya lanjutkan atau diam saja? Lama aku
berfikir untuk mengatakan tidak! Tapi tidak bisa ditutupi bahwa hasrat,
nafsu birahiku kuat sekali yang mendorong melonjak-lonjak dalam dadaku
bercampur aduk sampai kepada ubun-ubunku. Walaupun aku diamkan beberapa
saat, tetap saja kejaran libido yang terasa lebih kuat. Memang saya
sadar, wanita yang ada didekapanku adalah majikanku, tantenya Mona,
mamanya Rita, tapi sebagai pria normal dan dewasa aku juga merasakan
kenikmatan bibir dan rasa perasaan bu Ita sebagai wanita yang sintal,
cantik dan mengagumkan. Sedikitnya aku sudah merasakan kehangatannya
tubuhnya dan perasaannya, meski pengalaman ini baru pertama kali
kualami.
Aku tak kuasa berkeputusan, dalam kondisi seperti ini
aku semakin bergemetaran, antara mengelak dan hasrat yang menggebu-gebu.
Aku perhatikan wajahnya di bawah sorot lampu bed, sengaja saya lihat
lama dari dekat, wajahnya memancarkan penyerahan sebagai wanita, di
depan lelaki dewasa. Pelan-pelan tanganku menyusup di balik gaunnya,
meraba pahanya dia mengeliat pelan, saya tidak tahu apakah dia tidur
atau pura-pura tidur. Aku cium lembut bibirnya, dan dia menyambutnya.
Berarti dia tidak tidur. Ku singkap gaun tidurnya kemudian kulepas, dia
memakai beha warna putih dan cedenya juga putih. Aku menjadi tambah
takjub melihat kemolekan tubuh bu Ita, putih dan indah banget. Ku
raba-raba tubuhnya, dia mengeliat geli dan membuka matanya yang sayu.
Jari-jari lentiknya menyusup ke balik baju tidur yang kupakai dan
menarik talinya pada bagian perutku, lalu pakaianku terlepas. Kini
akupun hanya pakai cede saja.
“Kamu ganteng banget, Ron, tinggi badanmu berapa, ya?”, bisiknya. Saya tersenyum senang.
“Makasih. Ada 171. Bu Ita juga cantik sekali”, mendengar jawabanku, dia hanya tersenyum.
Aku
berusaha membuka behanya dengan membuka kaitannya di punggungnya,
kemudian keplorotkan cedenya sehingga aku semakin takjub melihat
keindahan alam yang tiada tara ini. Hal ini menjadikan dadaku semakin
bergetar. Betapa tidak?! Aku berhadapan langsung dengan wanita tanpa
busana yang bertubuh indah, yang selama ini hanya kulihat lewat
gambar-gambar orang asing saja. Kini langsung mengamati dari dekat
sekali bahkan bisa meraba-raba. Wanita yang selama ini saya lihat
berkulit putih bersih hanya pada bagian wajah, bagian kaki dan bagian
lengan ini, sekarang tampak seluruhnya tiada yang tersisa. Menakjubkan!
Darahku semakin mendidih, melihat pemandangan nan indah itu. Di saat
saya masih bengong, pelan-pelan aku melorot cedeku, saya dan bu Ita
sama-sama tak berpakaian. Penisku benar-benar maksimal kencangnya. Kami
berdua berdekapan, saling meraba dan membelai. Kaki kami berdua saling
menyilang yang berpangkal di selakangan, saling mengesek. Penisku yang
kencang ikut membelai paha indah bu Ita. Sementara itu ia membelai-belai
lembut penisku dengan tangan halusnya, yang membawa efek nikmat luar
biasa.
generasi
Tanganku membela-belai pahanya kemudian kucium
mulai dari lutut merambat pelan ke pangkal pahanya. Ia mendesah lembut.
Dadaku makin bergetaran karena kami saling mencumbu, aku meraba
selakangannya, ada rerumputan di sana, tidak terlalu lebat jadi enak
dipandang. Dia mengerang lembut, ketika jemariku menyentuh bibir
vaginanya. Mulutku menciumi payudaranya dengan lembut dan mengedot
puntingnya yang berwarna coklat kemerah-merahan, lalu membenamkan
wajahku di antara kedua susunya. Sementara tangan kiriku meremas lembut
teteknya. Desisan dan erangan lembut muncul dari mulut indahnya. Aku
semakin bernafsu walau tetap gemetaran. Tanganku mulai aktif memainkan
selakangannya, yang ternyata basah itu. Saya penasaran, lalu kubuka
kedua pahanya, kemudian kusingkap rerumputan di sekitar kewanitaannya.
Bagian-bagian warna pink itu aku belai-belai dengan jemariku.
Klitorisnya, ku mainkan, menyenangkan sekali. Bu Ita mengerang lembut
sambil menggerakkan pelan kaki-kakinya. Lalu jariku kumasukkan
keterowongan pink tersebut dan menari-nari di dalamnya. Dia semakin
bergelincangan. Kelanjutannya ia menarikku.
“Ayo Ron”aku tak tahan”, katanya berbisik
Dan merangkulku ketat sekali, sehingga bagian yang menonjol di dadanya tertekan oleh dadaku.
Aku
mulai menindih tubuh sintal itu, sambil bertumpu pada kedua siku-siku
tanganku, supaya ia tidak berat menompang tubuhku. Sementara itu
senjataku terjepit dengan kedua pahanya. Dalam posisi begini saja
enaknya sudah bukan main, getaran jantungku makin tidak teratur. Sambil
menciumi bibirnya, dan lehernya, tanganku meremas-remas lembut susunya.
Penisku menggesek-gesek sekalangannya, ke arah atas (perut), kemudian
turun berulang-ulang Tak lama kemudian kakinya direnggangkan, lalu
pinggul kami berdua beringsut, untuk mengambil posisi tepat antara
senjataku dengan lubang kewanitaannya. Beberapa kali kami beringsut,
tapi belum juga sampai kepada sasarannya. Penisku belum juga masuk ke
vaginanya
“Alot juga”, bisikku. Bu Ita yang masih di bawahku tersenyum.
“Sabar-sabar”, katanya. Lalu tangannya memegang penisku dan menuntun memasukkan ke arah kewanitaannya.
“Sudah ditekan… pelan-pelan saja”, katanya. Akupun menuruti saja, menekan pinggulku…
“Blesss”,
masuklah penisku, agak seret, tapi tanpa hambatan. Ternyata mudah! Pada
saat masuk itulah, rasa nikmatnya amat sangat. Seolah aku baru memasuki
dunia lain, dunia yang sama sekali baru bagiku. Aku memang pernah
melihat film orang beginian, tetapi untuk melakukan sendiri baru kali
ini. Ternyata rasanya enak, nyaman, mengasyikkan. Wonderful! Betapa
tidak, dalam usiaku yang ke 23, baru merasakan kehangatan dan kenikmatan
tubuh wanita.
Gerakanku mengikuti naluri lelakiku, mulai
naik-turun, naik-turun, kadang cepat kadang lambat, sambil memandang
ekspresi wajah bu Ita yang merem-melek, mulutnya sedikit terbuka, sambil
keluar suara tak disengaja desah-mendesah. Merasakan kenikmatannya
sendiri.
“Ah… uh… eh… hem”"
Ketika aku menekankan pinggulku, dia
menyambut dengan menekan pula ke atas, supaya penisku masuk menekan
sampai ke dasar vaginanya. Getaran-getaran perasaan menyatu dengan
leguhan dan rasa kenikmatan berjalan merangkak sampai berlari-lari kecil
berkejar-kejaran. Di tengah peristiwa itu bu Ita berbisik
“Kamu
jangan terlalu keburu nafsu, nanti kamu cepat capek, santai saja,
pelan-pelan, ikuti iramanya”, ketika saya mulai menggenjot dengan
semangatnya.
“Ya Bu, maaf”, akupun menuruti perintahnya.
Lalu
aku hanya menggerakkan pinggulku ala kadarnya mengikuti gerakan
pinggulnya yang hanya sesekali dilakukan. Ternyata model ini lebih
nyaman dan mudah dinikmati. Sesekali kedua kakinya diangkat dan sampai
ditaruh di atas bahuku, atau kemudian dibuka lebar-lebar, bahkan kadang
dirapatkan, sehingga terasa penisku terjepit ketat dan semakin seret.
Gerak apapun yang kami lakukan berdua membawa efek kenikmatan
tersendiri. Setelah lebih dari sepuluh menit , aku menikmati tubuhnya
dari atas, dia membuat suatu gerakan dan aku tahu maksudnya, dia minta
di atas.
Aku tidur terlentang, kemudian bu Ita mengambil posisi
tengkurap di atasku sambil menyatukan alat vital kami berdua.
Bersetubuhlah kami kembali.Ia memasukkan penisku rasanya ketat sekali
menghujam sampai dalam. Sampai beberapa saat bu Ita menggerakkan
pinggulnya, payudaranya bergelantungan nampak indah sekali, kadang
menyapu wajahku. Aku meremas kuat-kuat bongkahan pantatnya yang
bergoyang-goyang. Payudaranya disodorkan kemulutku, langsung kudot.
Gerakan wanita berambut sebahu ini makin mempesona di atas tubuhku.
Kadang seperti orang berenang, atau menari yang berpusat pada gerakan
pinggulnya yang aduhai. Bayang-bayang gerakan itu nampak indah di cermin
sebelah ranjang. Tubuh putih nan indah perempuan setengah baya menaiki
tubuh pemuda agak coklat kekuning-kuningan. Benar-benar lintas generasi!
Adegan
ini berlangsung lebih dari lima belas menit, kian lama kian kencang dan
cepat, gerakannya. Nafasnya kian tidak teratur, sedikit liar. Kayak
mengejar setoran saja. Tanganku mempererat rangulanku pada pantat dan
pinggulnya, sementara mulutku sesekali mengulum punting susunya. Rasanya
enak sekali. Setelah kerja keras majikanku itu mendesah sejadi-jadinya”
“Ah… uh, eh… aku, ke.. luaar..Ron..”, rupanya ia orgasme.
Puncak
kenikmatannya diraihnya di atas tubuhku, nafasnya berkejar-kejaran,
terengah-engah merasakan keenakan yang mencapai klimaknya. Nafasnya
berkejar-kejaran, gerakannya lambat laun berangsur melemah, akhirnya
diam. Ia menjadi lemas di atasku, sambil mengatur nafasnya kembali. Aku
mengusap-usap punggung mulusnya. Sesekali ia menggerak-gerakkan
pinggulnya pelan, pelan sekali, merasakan sisa-sisa puncak
kenikmatannya. Beberapa menit dia masih menindih saya.
Setelah
pulih tenaganya, dia tidur terlentang kembali, siap untuk saya tembak
lagi. Kini giliran saya menindihnya, dan mulai mengerjakan kegiatan
seperti tadi. Gerakan ku pelan juga, dia merangkul aku. Naik turun,
keluar masuk. Saat masuk itulah rasa nikmat luar biasa, apalagi dia bisa
menjepit-jepit, sampai beberapa kali. Sungguh aku menikmati seluruhnya
tubuh bu Ita. Ruaar biasa! Tiba-tiba suatu dorongan tenaga yang kuat
sampai diujung senjataku, aliran darah, energi dan perasaan terpusat di
sana, yang menimbulkan kekuatan dahsyat tiada tara. Energi itu
menekan-nekan dan memenuhi lorong-lorong rasa dan perasaan, saling
memburu dan kejar-kejaran. Didorong oleh gairah luar biasa, menimbulkan
efek gerakan makin keras dan kuat menghimpit tubuh indah, yang
mengimbangi dengan gerakan gemulai mempesona. Akhirnya tenaga yang
menghentak-hentak itu keluar membawa kenikmatan luar biasa”, suara tak
disengaja keluar dari mulut dua insan yang sedang dilanda kenikmatan.
Air maniku terasa keluar tanpa kendali, menyemprot memenuhi lubang
kenikmatan milik bu Ita.
“Ahh… egh… egh… uhh”, suara kami bersaut-sahutan.
Bibir
indah itu kembali kulumat makin seru, diapun makin merapatkan tubuhnya
terutama pada bagian bawah perutnya, kuat sekali. Menyatu semuanya,
“Aku” keluar Bu”, kataku terengah-engah.
“Aku juga Ron”, suaranya agak lemah.
“Lho keluar lagi, tadi kan sudah?! Kok bisa keluar lagi?!”, tanyaku agak heran.
“Ya, bisa dua kali”, jawabnya sambil tersenyum puas.
Kami
berdua berkeringat, walau udara di luar dingin. Rasanya cukup menguras
tenaga, bagai habis naik gunung saja, lempar lembing atau habis dari
perjalanan jauh, tapi saya masih bisa merasakan sisa-sisa kenikmatan
bersama. Selang beberapa menit, setelah kenikmatan berangsur berkurang,
dan terasa lembek, saya mencabut senjataku dan berbaring terlentang di
sisinya sambil menghela nafas panjang. Puas rasanya menikmati seluruh
kenikmatan tubuhnya. Perempuan punya bentuk tubuh indah itupun terlihat
puas, seakan terlepas dari dahaganya, yang terlihat dari guratan
senyumnya. Saya lihat selakangannya, ada ceceran air maniku putih kental
meleleh di bibir vaginanya bahkan ada yang di pahanya. Pengalaman malam
itu sangat menakjubkan, hingga sampai berapa kali aku menaiki bu Ita,
aku lupa. Yang jelas kami beradu nafsu hampir sepanjang malam dan kurang
tidur.
Keesokan harinya. Busa-busa sabun memenuhi bathtub, aku
dan bu Ita mandi bersama, kami saling menyabun dan menggosok, seluruh
sisi-sisi tubuhnya kami telusuri, termasuk bagian yang paling pribadi.
Yang mengasyikkan juga ketika dia menyabun penisku dan mengocok-kocok
lembut. Saya senang sekali dan sudah barang tentu membawa efek nikmat.
“Saya
heran barang ini semalaman kok tegak terus, kayak tugu Monas, besar
lagi. Ukuran jumbo lagi?!”, katanya sambil menimang-nimang tititku.
“Kan Ibu yang bikin begini?!”, jawabku. Kami tersenyum bersama.
Sehabis
mandi, kuintip lewat jendela kamar, Darti sedang nyapu halaman depan,
kalau aku keluar rumah tidak mungkin, bisa ketahuan. Waktu baru pukul
setengah enam. Tetapi senjata ini belum juga turun, tiba-tiba hasrat
lelakiku kembali bangkit kencang sekali. Kembali meletup-letup, jantung
berdetak makin kencang. Lagi-lagi aku mendekati janda yang sudah
berpakaian itu, dan kupeluk, kuciumi. Saya agak membungkuk, karena aku
lebih tinggi. Bau wewangian semerbak disekujur tubuhnya, rasanya lebih
fresh, sehabis mandi. Lalu ku lepas gaunnya, ku tanggalkan behanya dan
kuplorotkan cedenya. Kami berdua kembali berbugil ria dan menuju tempat
tidur. Kedua insan lelaki perempuan ini saling bercumbu, mengulangi
kenikmatan semalam.
Ia terbaring dengan manisnya, pemandangan
yang indah paduan antara pinggul depan, pangkal paha, dan rerumputan
sedikit di tengah menutup samara-samar huruf “V”, tanpa ada gumpalan
lemaknya. Aku buka dengan pelan kedua pahanya. Aku ciumi, mulai dari
lutut, kemudian merambat ke paha mulusnya. Sementara tangannya
mengurut-urut lembut penisku. Tubuhku mulai bergetaran, lalu aku membuka
selakangannya, menyibakkan rerumputan di sana. Aku ingin melihat secara
jelas barang miliknya. Jariku menyentuh benda yang berwarna pink itu,
mulai bagian atas membelai-belainya dengan lembut, sesekali mencubit dan
membelai kembali. Bu Ita bergelincangan, tangannya makin erat memegang
tititku. Kemudian jariku mulai masuk ke lorong, kemudian menari-nari di
sana, seperti malam tadi. Tapi bibir, dan terowongan yang didominasi
warna pink ini lebih jelas, bagai bunga mawar yang merekah. Beberapa
saat aku melakukan permainan ini, dan menjadi paham dan jelas betul
struktur kewanitaan bu Ita, yang menghebohkan semalam.
Gelora
nafsu makin menggema dan menjalar seantero tubuh kami, saling mencium
dan mencumbu, kian memanas dan berlari kejar-kejaran. Seperti ombak laut
mendesir-desir menerpa pantai. Tiada kendali yang dapat mengekang dari
kami berdua. Apalagi ketika puncak kenikmatan mulai nampak dan mendekat
ketat. Sebuah kejutan, tanpa aku duga sebelumnya penisku yang sejak tadi
di urut-urut kemudian dikulum dengan lembutnya. Pertama dijilati
kepalanya, lalu dimasukkan ke rongga mulutnya. Rasanya saya diajak
melayang ke angkasa tinggi sekali menuju bulan. Aku menjadi kelelahan.
Sesi berikutnya dia mengambil posisi tidur terlentang, sementara aku
pasang kuda-kuda, tengkurap yang bertumpu pada kedua tangan saya. Saya
mulai memasukkan penisku ke arah lubang kewanitaan bu Ita yang tadi
sudah saya “pelajari” bagian-bagiannya secara seksama itu. Benda ini
memang rasanya tiada tara, ketika kumasukkan, tidak hanya saya yang
merasakan enaknya penetrasi, tetapi juga bu Ita merasakan kenikmatan
yang luar biasa, terlihat dari ekpresi wajahnya, dan desahan lembut dari
mulutnya.
“Ah”, desahnya setiap aku menekan senjataku ke arah
selakangannya, sambil menekankan pula pinggulnya ke arah tititku. Kami
berdua mengulangi mengarungi samodra birahi yang menakjubkan, pagi itu.
Semuanya
sudah selesai, aku keluar rumah sekitar pukul setengah delapan, saat
Darti mencuci di belakang. Dalam perjalanan pulang aku termenung, Betapa
kejadian semalam dapat berlangsung begitu cepat, tanpa liku-liku, tanpa
terpikirkan sebelumnya. Sebuah wisata seks yang tak terduga sebelumnya.
Kenikmatan yang kuraih, prosesnya mulus, semulus paha bu Ita. Singkat,
cepat dan mengalir begitu saja, namun membawa kenikmatan yang
menghebohkan. Betapa aku bisa merasakan kehangatan tubuh bu Ita secara
utuh, orang yang selama ini menjadi majikanku. Menyaksikan rona wajah bu
Ita yang memerah jambu, kepasrahannya dalam ketelanjangannya,
menunjukkan kedagaan seorang wanita yang mebutuhkan belaian dan
kehangatan seorang pria.
Hari berganti minggu, minggu berganti
bulan, si kumbang muda makin sering mendatangi bunga untuk mengisap
madu. Dan bunga itu masih segar saja, bahkan rasanya makin segar
menggairahkan. Memang bunga itu masih mekar dan belum juga layu, atau
memang tidak mau layu.
Best sangat cerita ni.. Buatkan saya nak baca tiap hari..
BalasHapusTumpang Iklan
Abang..seronoknya..
Nak lagi..boleh?
>>>Enlargexl:Besarkan Zakar <<<